Laman

Sabtu, Maret 26, 2011

Memberi bukan berarti Menolong...




Semakin sering saja. Berjumpa anak-anak bermuka lusuh dan berambut gimbal mengusap-ngusap montorku. Wajah memelas dengan lap kusut berdebu seakan tak berniat benar membersihkan. Salah tingkah antara menolak dan memberi. Bergulat antara berpikir dengan hati, atau dengan logika.

Salah jika memberi receh pada anak jalanan. Malah nanti mereka terbiasa. Begitu mudahnya meminta-minta. Memberi tetapi menjerumuskan. Harus berpikir panjang. Kepada siapa dan apa efeknya pemberian kita.

Beberapa tahun yang lalu, saya berdebat dengan teman yang hampir tidak pernah memberi sesuatu pada peminta-minta di jalan. Baginya, hal itu berarti setuju dengan tindakan mereka. Padahal meminta-minta adalah tindakan yang dibenci sang Pencipta. Tapi saya berkeras, keputusan memberi atau tidak memberi tergantung niat saat itu. Kalau memang rasa kasihan dan berniat bersedekah untuk meringankan, lalu apa salahnya memberi? Bukankah bersedekah itu baik? Masalah digunakan untuk apa, hal yang tidak mendidik atau untuk apapun itu urusan logika, bukan hati di saat memberi. Apakah harus mengintrogasi peminta-minta sebelum memberi? Sepertinya terlalu berlebihan.

Jika ada peminta-minta, keputusan memberi tergantung hati saat itu. Siapa tahu memang dia sangat membutuhkan. Prasangka yang terlalu malah membuat mencegah berbuat kebaikan.


Siapa yang benar? Entahlah....

Saat informasi mudah didapat dari manapun dan mata sudah terbuka realita, baru saya meragu. Ternyata logika juga pengendali rasa.
Orang dewasa atau yang memang terlihat tidak mampu mencari pekerjaan lain memang berhak diberi. Namun, bila mereka adalah pemuda berbadan bugar, pemakai atribut nggak jelas, mengintimidasi sambil meminta-minta, apakah layak diberi?

Tentu saja tidak. Sudah jelas. Walau itupun belum menjamin. Lalu bagaimana kalau anak-anak?
Ah anak-anak itu. Baik atau buruk belum bisa membedakan. Mereka seharusnya di bawah tanggung jawab para dewasa. Belum bisa memilih, tapi dipilihkan oleh para dewasa menjadi peminta. Dan memberi pada mereka memang tidak sama dengan menolong....




Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara....pasal 34 UUD 1945 hafalan ketika SD..

Dimana negara? Mungkin negara ini begitu miskin hingga sudah berusia 66 tahun masih tidak mampu memenuhinya. Seharusnya potensi-potensi tersembunyi mereka terlindungi. Jangan sampai dipilihkan jalannya oleh para dewasa tak bertanggung jawab. Dan besar kemungkinan saat beranjak dewasa karena potensi mereka tidak berkembang, akhirnya mereka memilih melanjutkan jalan itu. Dinas sosial atau LSM peduli anak harusnya membuat hotline laporan tentang anak-anak peminta. Siapapun dapat melaporkan tempat dijumpai anak-anak itu. Selanjutnya mereka mengambil tindakan cepat pembinaan. Terlambat membuat mereka terburu terbiasa dan lari kembali ke kehidupan jalanan. Dan ini yang sering terjadi :(

Mungkin saat ini aku tidak bisa berbuat apapun. Tidak ada ide. Tapi setidaknya aku bisa menolong. Bukan dengan uang. Tapi dengan berkeputusan tidak memberi dan siap mengecewakan wajah-wajah kecil di perempatan jalan. Yak, aku siap menahan kasihan...

http://wartajatim.blogspot.com/2010/01/pengemis-profesional.html
http://ihwan-kholis.blogspot.com/2010/11/qt-tak-sehebat-anak-jalanan.html
http://storyofmynote.blogspot.com/2011/01/kisah-anak-jalanan.html
http://matanews.com/2010/03/29/anjal-disangu-rp12-juta-per-orang/
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=54204
http://nancysamola.wordpress.com/2009/08/19/anak-jalanan-tanggung-jawab-siapa/
http://jurnalfajri.blogspot.com/2009/12/pengemis-dan-anak-punk.html
http://tongsampah88.blogspot.com/2009/11/kami-anak-jalanan.html
http://kartunmania.wordpress.com/2009/08/13/anomali-pengemis-itu-ternyata-kaya-raya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar