mengenai kehidupan beragamanya. Ada yang mengalami konflik antar agama sedemikian berat sampai membuat keributan fisik. Ada juga yang hidup beribadah berdampingan dengan nyaman, merasa aman terhadap pemeluk agama lain. Toleransi beragama. Sebuah istilah yang pada setiap orang mungkin mempunyai definisi berbeda dalam memaknainya. Termasuk saya. Berikut ini sekedar berbagi pengalaman mengenai toleransi beragama yang pernah saya alami.
Pengalaman Mengenai Toleransi Beragama
Tujuh tahun yang lalu saya pernah tinggal di sebuah kos-kosan daerah Pogung
Dalangan, Yogyakarta. Letaknya persis di depan masjid dan taman
kanak-kanak. Tempat itu mempunyai delapan kamar, jadi saya tinggal
seatap dengan 7 teman lainnya. Dari kedelapan orang mahasiwa 4 orang
beragama Islam, 3 orang Kristen dan 1 orang Katolik. Seingat saya kami
hidup berdampingan dengan nyaman. Lima kali sehari suara azan
berkumandang "sangat bising" memecah keheningan dini hari, menganggu tidur siang atau tiba-tiba mengagetkan ketika sedang membaca koran. Akan tetapi, teman-teman Kristen dan Katolik tidak
pernah protes ke pengurus Masjid untuk tidak perlu keras-keras azan. Temen saya yang Kristen
dan Katolik termasuk taat agamanya. Tiap minggu mereka ke Gereja.
Kadang-kadang kos jadi ramai karena ada latihan nyanyi paduan suara di
kamar mereka. Kami yang tetangga kos muslim tentu saja "terkena efek kebisingan"
yang timbul, tapi kami tidak pernah melabrak dan membubarkannya. Apakah
ini bentuk toleransi beragama?
Apakah mungkin suatu ibadah agama tertentu tidak menganggu pemeluk agama lain?
Idealnya ketika beribadah kita tidak mengganggu kenyamanan
pemeluk agama lain. Tetapi pada prakteknya, tentu saja perbedaan jenis
ibadah kadang "mau tidak mau" mengganggu kenyamanan pemeluk agama lain.
Misalnya ketika Natal di Gereja atau Sholat Ied ketika Idul Fitri,
bukankah suara paduan suara, keramaian, kemacetan dan lainya merupakan
gangguan kenyamanan bagi pemeluk agama lain? Hal tersebut tentu saja
tidak bisa dihindari. Terpaksa "saling mengganggu" pastilah ada. Menurut
saya, yang dibutuhkan adalah pengertian dan permakluman secara wajar. Atas dasar ini antar pemeluk agama dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinanya dengan tenang dan aman.
Toleransi: Membiarkan pemeluk agama lain menjalankan agama sampai batas tertentu
Masing-masing dari kami punya keyakinan sendiri. Saling
menghargai jika orang lain menjalankan ibadahnya. Kami yang muslim,
kadang menjadi mayoritas (dalam level azan di kampung) atau minoritas
(saat temen kos kami kamarnya penuh karena latihan paduan suara). Kami
berusaha memahami dan memaklumi. Membiarkan pihak lain menjalankan
ibadah. Dan jika terpaksa mengganggu dengan kebisingan, sebagai
minoritas kami mencoba memahami kepentingan mayoritas. Sebagai mayoritas,
kami menjalankan ibadah dengan segala kesadaran mungkin "terpaksa" menganggu minoritas. Kami saling membiarkan masing-masing pihak menjalankan sesuatu dalam rangka ibadah mereka.
Batasan Toleransi dalam Agama
Apakah pembiaran ini tak terbatas? Tentu saja ada batasnya.
Batasnya adalah jenis ibadah itu sendiri. Tidak boleh ada "pemaksaan"
untuk terlibat dalam kegiatan ibadah agama lain (ritual). Dan
batasan-batasan ini harus didefinisikan oleh agama atau kesepakatan ahli agamanya masing-masing. Setahu saya dalam
Islam, batasan toleransi ini (toleransi dalam islam=tasamuh) diputuskan oleh ulama atau ahli agama berupa fatwa mengenai sesuatu hal. Para ulama mendasarkan pada Al-Quran sebagai Kitab Suci dan Hadis Nabi
sebagai sumbernya. Bila tidak diatur secara tekstual, maka ada langkah Ijtihad
(usaha sungguh-sungguh memutuskan sesuatu)
oleh para ahli agama sehingga tetap ada keputusan. Misalnya kesepakatan
ulama/fatwa di organisasi Muhammadiyah atau Majelis Ulama Indonesia mengenai ucapan "Selamat Hari Natal" kepada pemeluk agama Kristen/Katolik yang merayakannya.
Apakah kami mengucapkan "Selamat Hari Natal" pada teman Kristen/Katolik?
Kami yang muslim, tentu tidak keberatan dan membiarkan pemeluk Kristen/Katolik merayakan Natal pada tanggal 25 Desember. Akan tetapi, sesuai "batasan" dalam agama Islam (Fatwa MUI dsb), kami tidak boleh sampai mengucapkan "Selamat hari Natal" pada mereka. Teman-teman kami yang Kristen/Katolik juga tidak pernah menuntut atau memaksa kami mengucapkannya pada mereka. Mereka menghargai sikap kami untuk mematuhi ajaran agama berupa larangan mengucapkan hal tersebut. Bukankah ini bentuk toleransi mereka terhadap sikap kami? Pengertian mengapa kami tidak mengucapkan "Selamat Natal" walaupun mereka mengucapkan "Selamat Idul Fitri" atau "Selamat Lebaran" pada kami yang muslim. Batasan masing-masing agama berbeda dalam bertoleransi. Karena bagi mereka mengucapkan "Selamat Idul Fitri" adalah "boleh" sedangkan bagi kami ucapan "Selamat Natal" pada mereka adalah "tidak boleh". Dan apa yang terjadi? Tidak ada masalah :D.
Apakah kami mengucapkan "Selamat Hari Natal" pada teman Kristen/Katolik?
Kami yang muslim, tentu tidak keberatan dan membiarkan pemeluk Kristen/Katolik merayakan Natal pada tanggal 25 Desember. Akan tetapi, sesuai "batasan" dalam agama Islam (Fatwa MUI dsb), kami tidak boleh sampai mengucapkan "Selamat hari Natal" pada mereka. Teman-teman kami yang Kristen/Katolik juga tidak pernah menuntut atau memaksa kami mengucapkannya pada mereka. Mereka menghargai sikap kami untuk mematuhi ajaran agama berupa larangan mengucapkan hal tersebut. Bukankah ini bentuk toleransi mereka terhadap sikap kami? Pengertian mengapa kami tidak mengucapkan "Selamat Natal" walaupun mereka mengucapkan "Selamat Idul Fitri" atau "Selamat Lebaran" pada kami yang muslim. Batasan masing-masing agama berbeda dalam bertoleransi. Karena bagi mereka mengucapkan "Selamat Idul Fitri" adalah "boleh" sedangkan bagi kami ucapan "Selamat Natal" pada mereka adalah "tidak boleh". Dan apa yang terjadi? Tidak ada masalah :D.
Bacaan Lanjut: Islam dan Toleransi
Bacaan Lebih Berat: Larangan Ucapan Selamat Natal
Bacaan Toleransi dan Tasamuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar